SANTA YASINTA MARESKOTI, PERAWAN (1585-1640)
Pada tanggal 30 Januari setiap tahunnya, keluarga Fransiskan
memperingati Santa Hyacintha Mariscotti, Perawan anggota Ordo III Santo
Fransiskus (sekular). Hyacintha berasal dari keluarga kaya dan ternama.
Ayahnya adalah Pangeran Antonio dari Mariscotti, dan ibunya adalah
turunan keluarga bangsawan Roma Orsini.
Setelah adiknya perempuan menikah, Hyacintha (pada waktu itu masih
dipanggil Clarice), bergabung dengan para anggota ordo ketiga di biara
di kota Viterbo, namun sebagai anggota sekular. Pada waktu itu Hyacintha
makan-makan enak, berdandan dan hidup dalam kenyamanan. Kamarnya
diperlengkapi dengan benda-benda yang mencerminkan keduniawian. Semangat
mati raga dan pertobatan yang harus menjadi bagian hidup setiap anggota
anggota Ordo III belum dapat dipahami dengan baik olehnya, dan belum
dihayatinya.
Pada suatu hari, secara tiba-tiba Hyacintha terserang suatu penyakit
yang aneh. Bapa pengakuannya terpaksa harus masuk ke kamarnya untuk
melayaninya dengan sakramen-sakramen. Ketika melihat benda-benda duniawi
dan tak keruan yang terdapat dalam kamar Hyacintha, dengan keras sang
imam menegur Hyachinta yang sedang sakit itu. Taat kepada nasihat sang
bapa pengakuan, Hyacintha kemudian pergi ke ruang pertemuan bersama di
biara. Di ruangan itu, dengan tali di sekeliling lehernya, Hyachinta
mohon pengampunan dari para biarawati untuk segala skandal yang menimpa
mereka oleh karena ulahnya. Hyachinta mulai dengan serius melakukan
pertobatan. Akan tetapi hanya setelah dibantu oleh doa-doa syafaat Santa
Katarina dari Sienna (1347-1380), Hyachinta dapat sungguh-sungguh
melepaskan dirinya dari kelekatan akan benda-benda termaksud. Sejak saat
itulah dia memasuki suatu kehidupan penuh keutamaan yang heroik.
Hyachinta memulai suatu hidup pertobatan yang sungguh keras, namun
dapat dijalankannya dengan baik sampai akhir hidupnya. Dia pergi ke
mana-mana tanpa kasut atau sepatu, mengenakan sepotong jubah yang sudah
tua yang telah dibuang oleh seorang biarawati di biara itu, dan dia
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang paling rendah dan tidak mengenakkan.
Hyachinta hanya makan makanan yang sangat sederhana, dan itu pun
dicampurinya dengan herbal yang pahit rasanya. Tempat tidurnya terdiri
dari beberapa bilah papan yang ditutupi dengan sehelai selimut dan
sebuah batu menjadi bantal kepalanya. Hyachinta melakukan devosi kepada
penderitaan-penderitaan Kristus; dan sebagai kenangan akan sengsara
Kristus itu dia melakukan mati-raga secara khusus pada setiap hari Jumat
dan pada Pekan Suci. Dengan Maria, Bunda yang berbelaskasih, Hyachinta
juga mempunyai hubungan kasih seperti anak kepada ibunya. Bunda Maria
kadang-kadang menampakkan diri kepadanya dan menghiburnya.
Diperkaya dengan setiap keutamaan dan dihargai sekali oleh
saudari-saudarinya para biarawati di biara, Hyachinta berjumpa dengan
Saudari Maut (badani) pada waktu dia berumur 55 tahun. Banyak mukjizat
yang terjadi pada makamnya. Paus Benediktus XIII membeatifikasikannya.
Pada tahun 1807 Hyachinta Mariscotti dikanonisasikan sebagai seorang
Santa oleh Paus Pius VII.
Untuk direnungkan: Apa yang terjadi atas diri
Hyachinta seandainya dia tidak mempedulikan teguran keras dari bapa
pengakuannya? Pernahkah saudara/saudari ditegur dengan keras oleh
seseorang yang memiliki otoritas ‘dari atas’ seperti dalam kasus
Hyachinta ini? Apa tanggapan saudara/saudari? Kita sekali-kali tidak
boleh menutup pintu hatimu bagi teguran /nasihat/wejangan dan sejenisnya
dari siapa pun yang berkehendak baik. Kita malah harus bersyukur kepada
orang-orang seperti itu.
Sumber: Marion A. Habig OFM, THE FRANCISCAN BOOK OF SAINTS, hal. 75-78.
Penulis : Fridolin Manurung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar